Kalau di Jepang bisa, kenapa di Indramayu tidak? Pertanyaan itu terus menggelayut dalam benak dan pikiran Yance, ketika ia terpilih menjadi bupati pada tahun 2000. Ia memberikan prioritas terhadap pendidikan. Bahkan melihat perkembangan sumber daya manusia yang sangat tertinggal dibanding dengan kabupaten/kota lainnya di Jawa Barat, ia berusaha untuk merevolusi pendidikan di Indramayu.
Sekalipun Indramayu itu memiliki sejarah yang berbeda dengan Jepang namun revolusi pendidikan di daerahnya itu tentu saja didasari realitas sosial, ekonomi, budaya dan geografi yang ada di kabupaten tersebut. Dalam struktur masyarakat Indramayu terdapat 254.194 Ha. Hanya saja lahan sawah yang luas tersebut, jika dibagi dengan jumlah tenaga kerja kerja di sektor pertanaian, maka lahan yang tersedia tidak cukup memadai. Rata-rata kepemilikan lahan penduduk juga terbatas. Lebih dari 80% petani di Indramayu menggarap sawah dan tanah dibawah 1 Ha. Yang menggarap sawah dan tanah darat lebih dari 1 Ha hanya sekitar 20%. Bahkan penggarap lahan diatas 2 Ha hanya 14.295 orang (5,61%).
Begitu pula di sektor tenaga kerja, dimana kabupaten ini terkenal sebagai kabupaten pengekspor TKI yang tidak terdidik. Konsekuensinya, bukannya meningkatkan kesejahteraan, malahan mereka sering mengalami berbagai macam perlakuan yang tidak manusiawi, baik dari sisi finansial maupun berupa penganiayaan fisik. Banyak cerita memilukan, yang dialami para TKI asal Indramayu, mulai dari di siksa, dianiaya, di eksploitasi, di usir dan di tipu, menjadi cerita populer di desa-desa di Indramayu. Belum lagi dengan kasus penyakit yang sering menggerogoti para TKI setelah pulang dari perantauan dan luar negeri, menambah gambaran bagaimana SDM Indramayu masih sangat rendah.
Begitu pula dari sisi interaksi sosial masyarakatnya, ketika awal Yance menjabat sebagai bupati, masyarakat Indramayu dikenal sebagai masyarakat yang memiliki kebiasaan tawuran, baik antar kampung, antar desa maupun antar kecamatan. Budaya tawuran itu telah menghancurkan nilai-nilai sosial, pranata sosial, dan harmonisasi sosial hingga menyebabkan rasa ketakutan, suasana mencekam, dan dendam dan saling curiga diantara sesama warga kampung dengan tetangganya. Ibarat api dalam sekam, tawuran itu menjadi potensi yang setiap saat bisa memicu lahirnya kerusuhan, yang menghancurkan masyarakat itu sendiri.
Berdasarkan fenomena semacam itu, Yance menggulirkan revolusi pendidikan. Ia merombak total sistem pendidikan yang berjalan di Indramayu, agar bisa menjawab permasalahan mendasar yang dihadapi oleh masyarakat Indramayu. Seiring dengan pertumbuhan populasi dan makin sempitnya lahan persawahan, tenaga kerja di sektor pertanian tentu harus dikurangi, agar permasalahan kemiskinan struktural bisa dipecahkan. Begitu juga dengan TKI tidak terdidik yang banyak bekerja di luar negeri secara berlahan juga harus diminimalisir. Tenaga-tenaga terdidik Indramayu harus diciptakan, selain untuk mensubtitusi tenaga kerja di sektor tersebut, juga disiapkan untuk menyongsong era knowledge based economy (ekonomi berbasis pengetahuan) pada tahun-tahun mendatang. Begitu pula dengan tawuran yang ada di masyarakat juga harus dihentikan secepat-cepatnya.
Melalui kerangka berfikir semacam itu, Yance selama memimpin Indramayu harus bisa melakukan transformasi untuk mengubah struktur kehidupan masyarakat Indramayu. Dari ketergantungan pada Sumber Daya Alam (SDA), baik itu dari sektor pertanian dan sumber daya migas ke sektor industri pengolahan yang berbasis kekayaan alam. Begitu pula ekspor TKI yang selama ini banyak mengandalkan tenaga kerja tidak terdidik, ke depan Posyandu harus mampu mengekspor TKI yang memiliki kualifikasi keahlian yang dibutuhkan oleh pasar kerja internasional. Hal yang sama juga di bidang sosial. Bila masyarakat Indramayu dikenal sebagai masyarakat yang menyenangi tawuran, ke depan harus menjadi masyarakat yang bisa hidup berdampingan, harmonis, menjunjung tali persaudaraan diantara mereka dengan prinsip-prinsip kesetaraan.
Untuk menciptakan struktur masyarakat yang dinamis, konstruktif dan produktif semacam itu, pendidikan memegang kunci yang penting untuk melakukan perubahan. Hanya saja, revolusi pendidikan yang digulirkan Yance itu berbeda dengan revolusi pendidikan yang ekstrim sebagaimana terjadi di Barat yang dimotori oleh Ivan Illich dan Emil Durkheim, maupun revolusi pendidikan yang terjadi di Amerika Latin, yang di motori oleh Paulo Freire dengan teologi pembebasan.
Yance tak terpengaruh dengan mahzab pendidikan yang terjadi di Barat maupun Amerika Latin yang pernah mempengaruhi dunia pendidikan di berbagai negara maju maupun berkembang. Ia lebih fokus bagaimana revolusi pendidikan yang ia gulirkan itu bisa menjawab permasalahan di daerahnya di satu sisi dan di sisi lain juga sejalan dengan pendidikan nasional. Ia mengacu pada UU No. 20 Tahun 2000 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan dan UU No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah, dimana masing-masing kabupaten/kota mempunyai hak dan wewenang, kewajiban untuk mengatur dan mengurus pengembangan pendidikan di wilayahnya.
Berdasarkan pemahaman dan perenungan yang mendalam, sebagai orang Dermayu yang tidak terpisahkan dari rakyatnya, ia memperkenalkan model pembangunan pendidikan yang berbasis kewilayahan di tingkat kabupaten. Kewilayahan ini menjadi titik tekan, supaya pendidikan yang berkembang di Kabupaten Indramayu itu mampu menjawab permasalahan masyarakat di Indramayu. Dimana, pendidikan diselenggarakan berdasarkan kebutuhan daerah dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi daerah yang bermanfaat dalam proses pengembangan kompetensi pendidikan.
Ada lima acuan yan diajukan Yance dalam pembangunan pendidikan yang berbasis kewilayahan. Pertama, potensi sumber daya alam, yaitu potensi yang terkandung dalam bumi, air dan dirgantara yang dapat didayagunakan untuk berbagai kepentingan hidup. Kedua, potensi sumber daya manusia dengan segala potensi yang dimilikinya dapat dimanfaatkan dan dikembangkan menjadi makhluk sosial yang adaptatif, transformative, dan mampu mendayagunakan potensi alam sekitarnya secara seimbang dan berkesinambungan.
Ketiga, potensi geografis meliputi obyek formal dan obyek material. Obyek formal geografi adalah fenomena, geosfer yang terdiri dari lapisan bumi, cuaca, iklim, litosfer, hidrosfer, biosfer (lapisan kehidupan flora dan fauna) dan antroposfer. Pendekatan itu meliputi; pendekatan keuangan (spatial approach), pendekatan lingkungan (ecological approach) dan pendekatan komplek wilayah (integrated approach).
Keempat, potensi budaya; ciri khas budaya masing-masing daerah tertentu (yang berbeda dengan daerah lain) merupakan sikap menghargai kebudayaan daerah sehingga menjadi keunggulan lokal. Dalam konteks ini walaupun Kabupaten Indramayu bagian dari Jawa Barat, tetapi kultur, bahasa, adat istiadat, karakteristiknya sangat berbeda dengan daerah-daerah lain di Jabar. Ini merupakan khasanah sebagai pijakan untuk mengembangkan pendidikan di Kabupaten Indramayu, sekaligus sebagai ciri khas tersendiri dalam menangani pendidikan di Kabupaten ini.
Kelima, potensi historis; konsep ini merupakan potensi sejarah dalam bentuk peninggalan benda-benda purbakala maupun tradisi yang masih dilestarikan, apabila dioptimalkan akan menjadi keunggulan di daerah tersebut. Dalam konteks luas, bahwa potensi sejarah sebuah wilayah akan menjadi referensi atau rujukan awal untuk menentukan langkah pendidikan yang akan di garapnya.
Dengan pembangunan pendidikan yang berbasis kewilayahan ini, pendidikan di era kepemimpinan Yance, tentu kontras dengan pendidikan Indramayu pada era 2000-an. Pada era itu pendidikan di Indramayu sama dengan daerah-daerah lain, mengikuti format pendidikan nasional dari pusat yang cenderung menyamaratakan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, sebagai akibat warisan kebijakan Orde Baru yang sentralistik. Pola pendidikan sentralistik itu membuat pendidikan di Indramayu makin terpuruk dan kurang memiliki signifikansi terhadap pembangunan di Indramayu.
Dengan berbasis kewilayahan, Yance ingin menawarkan konsep pendidikan yang betul-betul didasari kebutuhan masyarakat Indramayu sekaligus memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh kabupaten tersebut, tanpa harus meninggalkan konsep pendidikan nasional yang digariskan dari pusat. Dengan pendidikan berbasis kewilayahan tersebut impelementasi kebijakannya terkadang kontras dengan kabupaten/kota di Jawa barat maupun di wilayah lain di Indonesia. Namun sebagai sebuah terobosan (breakthrough), apa yang dilakukan oleh H. Irianto MS Syafiuddin ini bisa menjadi model daerah lain dalam mengakselerasi pembangunan sumber daya manusia berdasarkan potensi yang dimiliki daerahnya.
Dalam mengembangkan pendidikan berbasis kewilayahan tersebut, Yance juga men-sinkron-kan dengan visi dan misi kepala daerah terpilih dengan menetapkan prioritas target capaian IPM (Indeks Pembangunan Manusia/IPM). Melalui pendidikan diharapkan mampu meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, yang meminjam indicator UNDP (1995) diarahkan pada empat komponen, yakni;
1. Produktivitas, masyarakat harus dapat meningkatkan produktivitas mereka dan berpartisipasi secara penuh dalam proses memperoleh penghasilan dan pekerjaan berupah. Oleh karena itu pertumbuhan ekonomi adalah salahsatu jenis dari pembangunan manusia;
2. Ekuitas, masyarakat harus punya akses untuk memperoleh kesempatan yang adil. Semua hambatan terhadap peluang ekonomi dan politik harus dihapus agar masyarakat dapat berpartisipasi di dalam dan memperoleh manfaat dari kesempatan-kesempatan itu;
3. Kesinambungan, akses untuk memperoleh kesempatan harus dipastikan tidak hanya untuk generasi sekarang tapi juga untuk generasi yang akan datang. Segala bentuk permodalan fisik, manusia, lingkungan hidup, harus dilengkapi;
4. Pemberdayaan, pembangunan harus dilakukan oleh masyarakat dan bukan hanya untuk mereka. Masyarakat harus berpartisipasi penuh dalam mengambil keputusan dan proses-proses yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Untuk membangun manusia melalui pendidikan Yance menjabarkan melalui aspek pemerataan, relevansi pendidikan dengan pembangunan, efisiensi pengelolaan, dan kualitas pendidikan.
SUMBER : www.kangyance.com